Kamis, 31 Juli 2008

Siap-siap "Serangan" 25 Iklan Rizal Mallarangeng!



Rizal Mallarangeng, calon presiden
Kamis, 31 Juli 2008 | 13:58 WIB

JAKARTA, Kompas Online - Bursa Calon Presiden (Capres) 2009 semakin ramai. Setelah Wiranto, Prabowo Subianto, Megawati, dan Sutiyoso mendeklarasikan diri siap maju dalam merebut RI 1, belakangan ini nama Rizal Mallarangeng juga siap bertarung menghadapi para seniornya.

Iklan-iklannya mulai gencar disiarkan berbagai media, terutama televisi. Ikon "RM 09" pun dipasangnya. Sebuah strategi yang mencontek gaya kandidat Presiden AS Barrack Obama dengan "Obama 08"-nya.

Ditemui di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (31/7), Rizal mengakui akan maju Nyapres. Cara yang ditempuhnya pun memang meniru apa yang dilakukan Obama. Karena itu, siap-siaplah menghadapi serangan iklan alumnus jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM ini. Rizal tengah merancang 25 versi iklan yang siap muncul di media.

"RM 09 mencontoh Obama 08 ya. Tapi yang ingin saya tunjukkan adalah metode demokrasi modern, bulan lagi old style politics. Bagaimana berpolitik dengan cara yang modern. Modelnya bukan lagi pawai, menggelar pentas musik dangdut. Tapi menggunakan medium televisi. Kalau dikalkulasi absolut, memang kesannya jumlah uang yang dikeluarkan lebih banyak, padahal tidak. TV itu medium paling murah karena bisa menjangkau puluhan juta orang dalam satu waktu," papar saudara kandung Andi Mallarangeng ini.

Ia mengatakan, dengan beriklan, orang akan mendengar dan berlangsunglah komunikasi eye to eye antara kandidat dan pemilih. Dalam kepala Rizal, ia telah berancang-ancang untuk membuat 25 versi iklan. "Kalau Obama dan Hillary kan 63 versi. Kalau saya, dalam kepala ini sudah ada 25 versi iklan. Yang pertama kan "Dari Sabang Sampai Merauke", yang baru keluar sekarang versi "33 Provinsi". Nah, nanti versi ketiga akan keluar 17 Agustus, berikutnya bulan Puasa, Sumpah Pemuda, Tahun Baru, dan lain-lain," ujar dia.

"Saya memang berusaha membujuk masyarakat. Memang ada pengorbanan untuk sebuah cita-cita, ada ongkos yang harus dikeluarkan. Sengaja saya memakai Bung Karno dan Dr Cipto Mangunkusumo, karena mereka juga berkorban untuk mencapai cita-citanya demi bangsa," kata Rizal. (ING)

8 komentar:

Wahid Nugroho mengatakan...

25 iklan
penasaran nih saya ^^

Anonim mengatakan...

iklannya di tv semua pa'...???

MoAja mengatakan...

Bagi orang-orang yang mau memilih RM untuk presiden 2009 mendingan mikir-mikir lagi, ini adalah tanggapan Blok Cepu yang dinegosiasi oleh RM untuk Indonesia :


Blok Cepu, Mission Accomplished

Oleh Rizal Mallarangeng

Kesepakatan Blok Cepu adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah perminyakan Indonesia. Seharusnya kita merayakan keberhasilan itu dan kemudian memikirkan bagaimana potensi penghasilan tambahan yang cukup besar bagi negara dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Sayangnya, sudah menjadi kebiasaan kita belakangan ini untuk melihat sisi negatif dari semua hal dan membesar-besarkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kita menjadi bangsa yang pesimistis, perengek sekaligus cerewet, dengan horizon yang tak lebih jauh dari apa yang tampak di depan hidung.
Itulah kesan yang saya peroleh dari kalangan yang menentang kesepakatan Blok Cepu. Sebagian bahkan memakai argumen-argumen nasionalisme yang sudah usang, dan mengajak kita untuk kembali lagi ke suasana tahun 1950an dan 1960an. Sebagian lagi, seperti Kwik Kian Gie, bahkan pernah berkata bahwa kita harus menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Cepu, berapa pun ongkosnya, seolah-olah dengan begitu kita berada dalam dunia hitam-putih, di mana yang satu adalah simbol segala kebaikan dan sikap pro-rakyat, sementara yang satunya lagi merupakan simbol segala keburukan dan anti-rakyat. Perusahaan asing pasti merugikan kita, sementara perusahaan negara pasti sebaliknya.

Kita hanya bisa mengurut dada terhadap argumen semacam itu. Zaman terus berubah dengan cepat, tetapi pikiran sebagian orang ternyata senantiasa berjalan di tempat. Prof. Clifford Geertz harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Jakarta.

Agar tidak simpang siur berkepanjangan dan menghabiskan energi politik yang tidak perlu, saya ingin mengingatkan kita bahwa salah satu soal fundamental ekonomi Indonesia berhubungan dengan minyak bumi. Pada tahun 1970an dan pertengahan 1980an, harga minyak membubung tinggi dan kita bersorak kegirangan karena adanya bonanza minyak. Hasilnya, antara lain, adalah puluhan ribu SD inpres, puskesmas, jalan raya, dan tambahan ribuan
guru.
Sejak dua tahun lalu harga minyak meroket lagi, bahkan mencapai rekor di akhir tahun lalu. Tapi kita justru menjerit. No bonanza, only pain and desperation. Anggaran tercekik, subsidi harus dipangkas, beban hidup masyarakat bertambah.

Mengapa? Jawabnya sederhana. Pada zaman Pak Harto produksi minyak kita jauh berada di atas tingkat kebutuhan domestik. Pada 1977, misalnya, Indonesia memproduksi 1.6 juta bph (barel per hari), sementara kebutuhan domestik hanya sekitar 0.25 juta bph. Selisih seperti itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di zaman Orde Baru,
terutama dari awal 1970an hingga pertengahan 1980an. Sekarang selisih demikian sudah menguap, malah kita sudah tekor. Kebutuhan domestik terus bertambah, sementara produksi minyak cenderung konstan, bahkan sejak 1998 terus mengalami penurunan.
Dalam posisi seperti ini, melambungnya harga minyak jelas bukan lagi rahmat, tetapi tohokan yang tepat di ulu hati.
Kondisi seperti itulah yang menjadi latar belakang perundingan Blok Cepu, yang memicu pemerintah untuk segera menghidupkan kembali proses negosiasi yang telah terbengkalai selama lebih lima tahun. Jika dikelola dengan baik blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran kita, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat.
Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, atau sekitar Rp 25 trilun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun?
Karena itu, setiap pemerintahan yang bertanggung jawab harus mengupayakan agar perundingan ini sukses dan tidak bertele-tele. Jika gagal, kita harus menunggu lagi hingga 2010, yaitu berakhirnya masa kontrak Exxon, dan baru bisa menikmati hasil dari Blok Cepu paling cepat pada 2012, itu pun jika kita mampu memenangkan perkara ini di pengadilan arbitrase internasional.
Pada saat memulai negosiasi dengan pihak Exxon, Tim Negosiasi dihadapkan pada banyak persoalan. Tetapi dari semuanya, hanya tiga persoalan yang fundamental, yaitu participating interests (PI), pembagian hasil atau split (PH) dan operatorship. Dari ketiganya, dua faktor pertamalah yang paling berpengaruh terhadap jumlah dana yang diterima oleh negara atau pihak Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Pertamina. Perlu pula diketahui bahwa awal perundingan tidak bermula dari kertas kosong yang putih bersih. Sebelum Presiden SBY terpilih, telah ada kesepakatan awal dalam dokumen HoA (Head of Agreement) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina. Dalam dokumen ini telah diatur, antara lain, pembagian PI masing-masing pihak, yaitu Exxon 50 persen, Pertamina 50
persen, dan dengan PH 60:40. Dengan ini, jika produksi telah dimulai, pembagian hasil di ujungnya adalah pemerintah pusat 60 persen, Pertamina 20 persen (50% x 40), Exxon 20 persen. Artinya, pihak Indonesia akan memperoleh 80 persen perolehan di Blok Cepu dan sisanya buat Exxon (20 persen).
Tanggung jawab yang dibebankan kepada Tim Negosiasi adalah penyelesaian perundingan secepat-cepatnya dengan hasil yang maksimal buat negara. Karena itu harus dicari jalan agar hasil perundingan sekarang jauh lebih baik ketimbang hasil negosiasi sebelumnya sebagaimana yang tergambar dalam HoA di atas. Dan sebagaimana umumnya setiap proses negosiasi, yang terjadi adalah proses tawar-menawar, ulur-mengulur, bahkan gerak-menggertak.
Singkat kata, setelah proses negosiasi yang alot selama kurang lebih setahun, hasil perundingan ini sudah kita ketahui bersama. Dalam komposisi PI kini pemerintah daerah memperoleh 10 persen yang didapat secara proporsional dari Exxon dan Pertamina. Yang drastis adalah pada pola PH: sistem adjusted split diperkenalkan, di mana pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, yaitu 93.25 persen pada harga minyak saat ini. Kalau toh harga minyak melorot ketingkat sangat rendah, katakanlah USD 30 per barel, kita masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86.5 persen. Artinya, perolehan Exxon
berhasil kita turunkan lumayan drastis, dari 20 persen menjadi 6.7-13.5 persen. Itu sebabnya seorang kawan saya yang ahli perminyakan berkata bahwa kesepakatan akhir Blok Cepu adalah salah satu deal terbaik yang pernah ada dalam dunia energi di Indonesia.
Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan HP), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship. Kompromi harus dilakukan, sejauh masih dalam batas yang wajar dan mendukung tujuan besar kita untuk kembali menjadi net exporter dan menggunakan hasilnya demi kesejahteraan rakyat.
Pemahaman seperti itulah yang pada akhirnya menelurkan konsep joint operatorship, yang membagi kewenangan operasi secara bertingkat, dengan perwakilan masing-masing pemilik PI secara proporsional dalam menentukan kebijakan besar di lapangan. Dalam prakteknya Exxon yang akan bertindak sebagai manager umum, namun dalam melakukan aktifitasnya harus menyertakan Pertamina.

Dengan semua itu, Pertamina memiliki peluang emas untuk meningkatkan kinerjanya. Perusahaan berplat merah ini akan memperoleh tambahan pendapatan yang besar (perolehan buat Exxon persis sama dengan perolehan buat Pertamina) serta rekan kerja kelas dunia dengan kemampuan teknologi dan finansial yang sulit ditandingi oleh siapa pun saat ini (Exxon adalah perusahaan dunia terbesar). Singkatnya, Pertamina saat ini memperoleh momentum untuk tumbuh lebih baik dengan memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka.
Jadi secara keseluruhan, sebagai seseorang yang pernah terlibat dalam Tim Negosiasi, saya merasa bangga bahwa pada akhirnya perundingan yang melelahkan itu dapat berakhir dengan baik dan memuaskan kita. Lima tahun lebih sumberdaya alam kita di Blok Cepu disandera oleh ketidakpastian dan kekaburan prioritas. Kini semua itu telah menjadi bagian masa lalu. Pada
akhirnya kita bisa berkata bahwa kita masih memiliki akal sehat. Mission accomplished.

Kembali ke kalangan penentang yang saya singgung di atas tadi, terus-terang saya agak kesulitan dalam mengikuti alur berpikir mereka. Sebagian dari kalangan ini hanya melihat pada satu isu, yaitu operatorship, tanpa mau mengerti sedikit pun tentang konteks persoalan besar yang melibatkan isu-isu penting lainnya.
Sebagian lainnya hanya berkutat pada isu yang sebenarnya agak diputar-balikkan, yaitu cost-recovery. Seolah-olah dalam soal ini hanya pihak Exxon yang menentukan biaya operasi dan pasti akan terjadi kerugian negara dalam jumlah yang fantastis. Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa soalnya tidak semudah itu: dalam mekanisme operasi Pertamina terlibat aktif
serta dalam proses pengawasan biaya akan ada pemeriksaan yang berlapis-lapis.
Namun yang paling lantang terdengar adalah suara-suara nasionalisme sempit dengan sejumlah tuduhan miring, yang seolah membenarkan sebuah ungkapan dari Dr. Samuel Johnson, nationalism is the last refuge of scoundrels.

Terhadap semua itu, saya hanya bisa berkata bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar hanya dengan membuka diri, memanfaatkan kesempatan yang dibuka oleh zaman ini, serta secara kreatif belajar dari mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju.
Masalahnya bukan terletak pada kebanggaan atau kepercayaan terhadap satu atau beberapa perusahaaan milik negara. Soalnya lebih terletak pada pilihan prioritas dan keberanian untuk memilih.
Lewat negosiasi Blok Cepu, pemerintah telah menetapkan dan memilih prioritas. Hasil yang diharapkan pada akhirnya adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika ini terjadi, di situlah letak kebanggaan kita yang sesungguhnya sebagai sebuah bangsa.

Unknown mengatakan...

Halo? kayaknya harus rajin2 'touch people' utk lebih bisa dikenal sbg calon yg bisa diandalkan..setidaknya masyarakat dapat 'menyentuh anda lbh dekat'. Masyarakat mana? itu juga ada priority nya mana yg harus didahulukan utk disentuh? boleh diurutkan sebagai prioritas, mulailah dari sejak anda bayi...lingkungan balita...lingkungan SD,SMP,SMA,Fisipol UGM,lingkungan pekerjaan, pergaulan, baru yg lain2nya...

Unknown mengatakan...

Dana darimana Bung?
Kaya sekali Anda! Anda dapat komisi berapa dari Blok Cepu?

HIDUPKU ADALAH HIDUP mengatakan...

Maju aja pak jd presiden,
Pak Mallarangeng maju jadi presiden aku pasti vote bapak.
Sukses maju terus NKRIf

HIDUPKU ADALAH HIDUP mengatakan...

Maju aja pak jd presiden,
Pak Mallarangeng maju jadi presiden aku pasti vote bapak.
Sukses maju terus NKRIf

Johan Tampubolon mengatakan...

Err.. Rizal, i'm not picking side; but, here goes:
You don't have to be a president to weave that nice dream. Be something else; better: an Independent Hero.
Hero doesn't spend his money on campaign; he spend it on building a better workshop -with better Code of Conduct; better social welfare; more humane- on answering to the case of suffering labour in Indonesia.

Hero doesn't dream to much on wide-spreading the idea of fine youth; Hero does it now, Hero does it here: Go catch urself another dream weaver. Find youth with brilliant ideas. Campaign nationality, not self. Publish appreciation to creativity, not smiling picture of yours.

Be Hero, Rizal. Real one. The Hard-cored one.